Tinjauan Teori Kapital Budaya Pierre Bordieu terhadap Penokohan dalam Cerita Pendek “Ik hou van Holland”

Sastra Hindia Belanda merupakan salah satu aliran sastra yang menarik perhatian pembaca sastra di dua dunia: Barat dan Timur – dalam hal ini pembaca sastra Belanda dan Indonesia. Definisi Sastra Hindia Belanda sendiri menurut Sastrowardoyo (1999:11) adalah rumpun kesusastraan di dalam bahasa Belanda yang berpokok pada kehidupan di negeri jajahan Hindia Belanda, ditulis oleh orang-orang Belanda terutama dan oleh orang-oang Indo, baik yang keturunan Belanda maupun yang keturunan bangsa Eropa lainnya. Akan tetapi bukan berarti bahwa cerita dalam sastra Hindia Belanda hanya bermain di latar tempat Hindia Belanda saja. Sering kali banyak penulis menggambarkan kehidupan orang Belanda atau orang Indo yang berepatriasi ke Belanda setelah sebelumnya hidup di Hindia Belanda. Konteks repatriasi bisa juga dilakukan oleh warga asli Hindia Belanda yang memilih pindah ke Belanda.  

Perubahan latar tempat – dalam pembahasan ini berpindahnya tokoh dari Hindia Belanda ke Belanda- sangat berpengaruh pada tokoh-tokoh yang bermain dalam suatu cerita. Menurut Abrams, yang dikutip dari Nurgiyantoro (1995:216), latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Dalam cerita sastra Hidia Belanda, perubahan lokasi sering kali memengaruhi penceritaan identitas pada tokoh-tokoh tertentu. Tentu saja hal ini berkenaan dengan pengaruh latar lingkungan di sekitar tokoh yang berubah drastis.

Pengaruh terhadap tokoh tersebut banyak muncul dalam buku Als ik later groot ben, wil ik kind worden (1990). Buku ini merupakan kumpulan cerita pendek yang ditulis oleh orang-orang Belanda dan Indo-Eropa yang pernah tinggal di Hindia Belanda. Hampir keseluruhan buku memuat cerita-cerita pendek beraliran realisme. Aliran sastra realisme menggambarkan kehidupan masyarakat dan pengalaman penulis apa adanya. Dalam hal ini tidak ditemukan romantisisasi situasi dalam cerita. Bentuk penceritaan ‘apa adanya’ ini amatlah menarik karena kemungkinan besar pembaca disuguhkan cerita yang mendekati kenyataan. Meskipun perlu digaris bawahi bahwa dalam membaca karya sastra, penting bagi pembaca untuk menyadari bahwa elemen fiksi bisa saja disisipkan dalam narasi. Tak peduli seberapa kerasnya penulis meyakinkan pembaca bahwa kisah fiksi yang disuguhkan berdasarkan kisah nyata atau pengalaman hidup penulis. Oleh karena itu, pembahasan tulisan ini akan berfokus membedah dunia penceritaan dalam cerita pendek Ik hou van Holland.

Penulis akan menggunakan pendekatan strukturalisme untuk melihat struktur yang ada dalam teks. Sebagai landasan kerja, pendekatan dan teori yang digunakan akan dijabarkan sebagai berikut; analisis struktur yang akan dilakukan mencakup analisis terhadap penokohan, perspektif penceritaan, dan juga latar; analisis pencerita dilakukan untuk mengetahui dari sudut mana cerita ini dituturkan; analisis penokohan dilakukan untuk menggenali penggambaran karakter beberapa tokoh; analisis latar dilakukan untuk memperoleh gambaran latar tempat dan sosial dalam cerita.  Burhan Nurgiyantoro dalam Teori Pengkajian Fiksi (1995 : 227) memaparkan tiga pembagian analisis latar, yaitu analisis latar waktu, tempat dan sosial. Latar waktu dan latar tempat memberikan penjelasan tentang kapan dan tempat berlangsungnya peristiwa-peristiwa di dalam cerita sedangkan latar sosial memberikan keterangan mengenai keadaan masyarakat pada saat cerita itu berlangsung. Jika latar tempat muncul dari penggambaran lokasi terjadinya perstiwa dalam sebuah karya fiksi, maka latar sosial nampak dari penggambaran kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, dan pandangan hidup juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan: tinggi, menengah atau rendah (Nurgiyantoro: 233-234).

Cerita pendek Ik hou van Holland karya Raymakers- van der Put, mengisahkan kehidupan tokoh aku dan ibunya yang baru tiba di Belanda setelah sebelumnya mereka menjalani kehidupan di Kamp Interniran Jepang. Dalam konteks buku ini, penulis meyakinkan bahwa pencerita aku merupakan penulis kisah ini, yaitu van der Put. Meskipun, sekali lagi, elemen fiksi bisa saja disisipkan dalam narasi cerita.

Banyak kejadian-kejadian dalam cerita yang menunjukkan usaha para tokoh untuk berusaha diterima di dalam lingkungan masyarakat yang baru. Kapital ekonomi, simbolik, kultural, dan sosial memainkan peran penting dalam penerimaan masyarakat terhadap tokoh-tokoh dalam cerita. Untuk membahas kapital tersebut dan efeknya terhadap tokoh, kita akan mendalami lebih dahulu mengenai status sosial tokoh atau apa yang disebut Pierre Bordieu sebagai kapital. Dalam Calhoun (1993 : 67) dijelaskan bahwa kapital memiliki arti kapasitas untuk menjalankan kontrol terhadap kehidupan seseorang dan orang lainnya sekaligus menjadi perantara antara individu dengan masyarakat. Dijelaskan juga bahwa di titik tertentu individu berjuang untuk memaksimalkan kapital yang mereka miliki karena kapital yang mampu mereka raih menentukan lama waktu mereka bisa bertahan secara sosial. Tak heran bahwa kapital bisa juga menghasilkan perbedaan kelas. Dalam Calhoun dikatakan bahwa Bordieu melihat kapital sebagai sebuah sumber yaitu bentuk dari hal yang dapat menghasilkan kekuasaan.

Bordieu membagi kapital menjadi empat antara lain, (1) kapital ekonomi yaitu yang berhubungan dengan kemampuan ekonomi manusia dalam masyarakat (2) kapital simbolik yaitu hal-hal yang berkaitan dengan kelas sosial yang didapat sejak lahir, seperti keturunan ningrat atau keluarga kerajaan, (3) kapital sosial yaitu yang berhubungan dengan relasi sosial dengan lingkungan sekitar, dan (4) kapital kultural yang berkaitan dengan proses belajar manusia dalam mendapat gelar atau penghargaan.

Peraihan kapital oleh seorang individu bisa mempengaruhi refleksi diri yang diterimanya dari lingkungan. Refleksi diri sendiri menurut Ting-Toomey bisa berasal dari diri sendiri maupun diberikan oleh orang lain. Hal tersebut disebut oleh Ting-Toomey sebagai identitas. Yang terpenting dalam komunikasi antar budaya adalah negosiasi identitas karena dalam Ting-Toomey (1999 : 39) dijelaskan bahwa identitas dipandang sebagai citra diri reflektif yang dikonstruksi, dialami, dan dikomunikasikan oleh para individu dalam satu budaya dan dalam satu situasi interaksi tertentu. Setiap orang akan cenderung merasakan kenyamanan identitas dalam suatu lingkungan budaya yang menurutnya familiar dan sebaliknya akan mengalami identitas yang rentan dalam lingkungan baru. Untuk mengatasinya, seorang individu melakukan negosiasi terhadap identitasnya agar perilakunya dianggap cocok dan sesuai dengan yang diharapkan oleh budaya di sekitarnya. Terkadang negosiasi ini menjadikan seorang individu mencoba memaksakan, mendefinisikan, mengubah, menantang, dan/atau mendukung citra diri yang diinginkan pada mereka atau orang lain. Dalam analisis cerita ini, marilah kita telisik bagaimana perubahan kapital bisa memengaruhi karakter tokoh dan juga bagaimana hal ini berpengaruh akan interaksi satu tokoh dengan tokoh lain.

Ringkasan Cerita

Ik hou van Holland bercerita mengenai tokoh aku seorang Belanda yang baru saja pindah ke Belanda dari Hindia Belanda setelah sebelumnya sempat ditahan di kamp interniran Jepang di Hindia Belanda. Selama tinggal di Hindia Belanda, ibunya selalu bercerita seolah-olah Belanda bagaikan surga. Meski begitu, saat tokoh aku kembali ke Belanda keadaan berjalan tidak sesuai dengan yang ia harapkan. Kondisi Belanda selepas Perang Dunia Kedua memang bisa dibilang jauh lebih terkendali dibandingkan situasi di Hindia Belanda, namun tokoh aku selalu merasa tidak nyaman. Hal tersebut muncul karena perlakuan orang-orang Belanda terhadap ia dan ibunya yang kurang baik. Salah satunya digambarkan saat ibu dari tokoh aku tidak diberi tempat duduk dengan alasan bahwa mereka adalah ‘dubbele bonnenvreters’ (Pelahap kupon ganda). Istilah ini mengacu pada sentimen orang Belanda yang melihat repatrian dari Hindia Belanda pasca perang merupakan orang-orang yang menggambil keuntungan baik di daerah jajahan Hindia Belanda dan di Belanda pasca perang. Pandangan negatif lain terhadap tokoh aku dan ibunya juga digambarkan dari sikap nenek tokoh aku kepada mereka.

Analisis Struktur Cerita

Pencerita dalam cerita Ik hou van Holland adalah tokoh aku (ik verteller). Pencerita hadir sebagai pencerita orang pertama sekaligus menjadi tokoh utama dalam cerita. Tokoh aku menceritakan pengalaman-pengalaman hidupnya saat ia kembali ke Belanda. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa tokoh aku mengalami dan menceritakan seluruh kejadian dalam cerita secara langsung atau yang dalam dunia sastra Belanda disebut dengan belevend ik vertelperspectief. Tokoh aku menceritakan tiap peristiwa melalui perspektifnya sendiri dan penjelasan peristiwa banyak bermain dalam pikirannya. Sebagai tokoh utama, tidak diceritakan secara eksplisit apakah tokoh aku merupakan keturunan Indo atau Belanda totok. Namun lewat ciri-ciri fisik digambarkan bahwa ia memiliki kulit kuning dan mata cekung seperti kurang makan. Tokoh lain yang muncul dalam cerita ini adalah tokoh ibu yang merupakan tokoh sampingan. Pada beberapa bagian dalam cerita digambarkan bahwa tokoh ibu pernah merasa tersinggung dengan perlakuan orang lain yang merendahkan mereka yang datang dari Hindia Belanda.

 Selain itu tokoh sampingan yang berpengaruh dalam jalannya cerita adalah tokoh nenek. Digambarkan bahwa nenek adalah seorang yang tidak suka berbasa-basi dan jujur dalam mengungkapkan sesuatu. Dibuktikan ketika tokoh nenek pertama kali melihat kondisi tokoh aku dan ibu setelah bertahun-tahun mereka tidak bertemu. Nenek langsung menyebut penampilan tokoh ibu seperti gelandangan “Wat zie je eruit, wat zie je eruit! Net een landloopster!” (hal. 102).

Menurut Drop (1970 : 39) latar haruslah ikut bermain menentukan tindakan dari tokoh-tokoh. Dengan kata lain latar juga ikut mempengaruhi penokohan dan oleh sebab itu analisis latar juga diperlukan. Jika dilihat dari latar waktunya disebutkan bahwa tokoh aku pindah ke Belanda setahun setelah Jerman sudah angkat kaki dari pendudukannya terhadap Belanda dan Perang Dunia kedua sudah berakhir. Menurut situs entoen.nu, surat pembebasan pendudukan Jerman terhadap Belanda ditandatangani pada Mei 1945 dan dengan itulah pendudukan Jerman di Belanda resmi berakhir. Dalam cerita penjelasan latar waktu muncul lewat tuturan tokoh aku yaitu “Je kunt je niet voorstellen dat het hier in April vorig jaar nog oorlog was.”

Dalam Snoek (1987 : 77) lebih jauh juga dikatakan bahwa di tahun-tahun tersebut atau sekitar tahun 50-an terjadi peningkatan jumlah orang asing dalam lingkungan masyarakat Belanda. Pada tahun tersebut jumlah orang Belanda dan Indo yang datang ke Belanda sangat besar. Orang Indo dikatakan bisa menyesuaikan diri dalam tatanan masyarakat Belanda dan membuat subkultur tersendiri.

Awal cerita dimulai dengan alur mundur, lalu cerita kembali ke penceritaan masa sekarang dengan alur maju. Cerita diawali dengan latar waktu saat tokoh aku menceritakan pertama kali ia tiba di Belanda satu tahun setelah pendudukan Jerman di Belanda serta Perang Dunia kedua berakhir. Tokoh aku menceritakan bahwa di awal kedatangannya, orang-orang di Belanda dan teman-teman di sekolahnya memperlakukannya dengan cukup baik. Cerita ini mengambil latar tempat di Belanda dan meskipun nama kota mereka tinggal tidak disebutkan secara spesifik dalam cerita namun dikatakan bahwa pertama kali mereka tiba di Belanda adalah di kota IJmuiden kemudian mereka menuju ke Amsterdam. Selain itu pada bagian saat ia dan ibunya pergi ke rumah nenek, latar tempat berubah menjadi Appeldorn.

Analisis Kapital Bordieu

Pada bagian ini akan dilakukan analisis terhadap teks dengan menggunakan teori kapital milik Pierre Bordieu. Lewat analisis ini akan diketahui bagaimana kapital-kapital tadi mempengaruhi tokoh-tokoh dalam usahanya sebagai individu dalam membangun hubungan dengan masyarakat di lingkungannya. Analisis kapital yang akan dilakukan adalah sebagai berikut.

Kapital Ekonomi

Kapital ekonomi merupakan modal-modal yang dimiliki oleh individu yang berhubungan dengan kemampuannya dalam aktivitas ekonomi. Pada cerita “Ik hou van Holland” penggambaran kondisi ekonomi tokoh aku dan ibunya memang tidak dijelaskan secara rinci namun ada sebuah bagian dalam cerita yang menyinggung mengenai kemampuan ekonomi mereka yaitu saat tokoh aku dan ibunya mengunjungi rumah tokoh nenek. Hal tersebut tergambar lewat penampilan fisik melalui pakaian yang mereka gunakan. Saat itu tokoh nenek digambarkan melihat penampilan fisik kedua tokoh tersebut dengan tatapan mencela bahkan menyebut bahwa penampilan ibu seperti gelandangan. “Wat zie je eruit, wat zie je eruit! Net een landloopster! Zei ze een beetje afkeurend en heel erg onsteld en toen keek ze naar mij en vond mij er ook al niet beter uitzien” (hal. 102).

Sebaliknya, tokoh nenek dalam cerita ini digambarkan sebagai orang Belanda yang masih memiliki semua barang-barang pajangan mewah yang normalnya tidak dimiliki oleh orang Belanda lainnya. Di masa pendudukan Jerman, orang Belanda mengalami kesulitan dalam bidang ekonomi dan hal tersebut memaksa mereka untuk menjual barang-barang tersier yang ada di rumah mereka. Akan tetapi hal tersebut tidak terjadi pada sosok nenek karena di rumahnya ia masih memiliki barang-barang semacam itu. “Ik vond oma deftig en vooroorlogs. Ze had alles nog. Ze had glazenkasten met porselein, achttiende eeuwse pastels en negentiende eeuwse potretten van voorouders…”

Penggambaran kondisi yang saling bertolak belakang ini sekaligus menguatkan kesan bahwa kapital ekonomi yang dimiliki oleh tokoh aku serta ibunya yang berasal dari Hindia Belanda masih belum setara dengan kapital yang dimiliki oleh orang Belanda – dalam hal ini direpresentasikan melalui tokoh nenek.

Kapital Simbolik

Pembahasan kapital simbolik mencakup hal-hal yang berkaitan dengan kelas sosial yang didapat sejak lahir seperti keturunan ningrat atau keluarga kerajaan. Dalam sudut pandang sastra Hindia Belanda, kelas sosial bisa dilihat melalui status seseorang yang dibawa sejak lahir: apakah ia totok, Indo, atau pribumi. Dalam cerita “Ik hou van Holland” tidak disebutkan secara eksplisit mengenai status simbolik dari tokoh aku namun di beberapa bagian cerita dikatakan ciri fisik dari tokoh aku dan tokoh ibu “Ze herkennen ons aan ons gele vel en aan de holle ogen” (hal. 102).

Kutipan tadi tidak cukup menjelaskan apakah tokoh aku dan tokoh ibu adalah orang Indo atau orang Belanda namun penulis curiga bahwa mereka adalah orang asli Belanda. Dalam artikel di situs online Trouw dijelaskan bahwa keadaan totok yang datang dari Hindia Belanda ke Belanda sangat memprihatinkan. Perubahan fisik bisa dilihat dari wajahnya yang tirus dan matanya yang menjadi cekung karena makanan di kamp Jepang kurang memadai. Selain itu dalam teks diceritakan bahwa mereka tiba di Belanda setahun setelah Jerman angkat kaki dari belanda dan berarti pada tahun 1945-an. Pada tahun-tahun tersebut, menurut artikel dalam situs Trouw, orang Belanda totok merupakan gelombang pertama yang dikirim kembali ke Belanda sedangkan orang Indo menyusul setelah tahun 1949. Bertolak dari hal tersebut saya menyimpulkan bahwa tokoh aku dan tokoh ibu merupakan orang Belanda totok.

Kapital Sosial

Pada kapital ini dibahas mengenai relasi sosial individu dengan lingkungannya. Meskipun dalam beberapa literatur dikatakan bahwa orang Indo mudah beradaptasi dengan lingkungan Belanda namun tetap saja relasi mereka dengan lingkungan kadang dihadapkan oleh kesulitan. Salah satunya terlihat dalam cerita ketika tokoh aku dan ibu sedang menaiki kereta dan tempat duduknya sudah penuh. Saat itu ada perempuan tua yang berkata pada laki-laki yang sedang duduk “Tidakkah kamu mau berdiri untuk memberikan wanita ini (ibu dari tokoh aku) tempat duduk?” Kemudian laki-laki itu menjawab bahwa ia tidak akan berdiri untuk para dubbele bonnenvreters.

Dalam sebuah artikel pada trouw.nl yang berjudul Thuisvaart naar een vreemd land diceritakan bahwa di masa Perang Dunia kedua dan pendudukan Jerman di Belanda situasi ekonomi menjadi parah dan pemenuhan pangan bagi masyarakat Belanda menjadi sulit. Pada masa itu diputuskan pemberlakuan bonsysteem yaitu sistem untuk menukar barang-barang pokok dengan makanan atau pakaian yang dibutuhkan masyarakat dengan menggunakan kupon. Di periode yang sama datang pula orang-orang dari iIndia Belanda yang kondisinya lebih parah dari orang Belanda. Banyak dari mereka yang sakit dan mengalami kurang gizi. Karena itulah pada tahun 1946 pemerintah Belanda memutuskan agar mereka mendapat hak untu menerima kupon dobel oleh karena itu muncullah istilah dubbele bonnenvreters. Kata vreters sendiri dalam bahasa Belanda berarti pelahap makanan namun memiliki konotasi negatif yaitu melahap makanan dengan serakah.

      Jika dalam cerita dikatakan bahwa orang Belanda menolak untuk memberikan tempat duduk kepada ibu dari tokoh aku berarti terjadi penolakan dalam hal relasi sosial yang diakibatkan tidak lain karena fungsi tokoh aku dan ibu dalam masyarakat. Masih ada kesan bahwa orang-orang Hindia Belanda yang kembali ke Belanda hanya menginginkan kehidupan yang lebih layak dan dengan semena-mena mendapatkan hak yang lebih dari orang Belanda sendiri. Kegagalan peraihan kapital sosial pada tokoh aku dan tokoh ibu ini menjadi menarik jika dihubungkan dengan kapital simbolik mereka. Pada bagian sebelumnya diasumsikan bahwa tokoh aku dan tokoh ibu merupakan orang Belanda. Seharusnya jika mereka berada di lingkungan masyarakat Belanda, fungsi yang mereka dapatkan setara dengan orang Belanda lainnya. Akan tetapi mereka masih mengalami kesulitan dalam relasi sosial dan hal tersebut diakibatkan oleh ciri fisik yang mereka miliki.

Kapital Kultural

Kapital kultural merupakan kapital yang berkaitan dengan proses belajar manusia dalam mendapat gelar dan penghargaan. Dalam hal ini mencakup juga kempampuan individu dalam peraiha akademis. Tokoh aku diceritakan harus berhenti sekolah selama dua tahun pada saat masa pendudukan Jepang di Hindia Belanda. Hal ini membuat ia harus tinggal kelas saat ia melanjutkan sekolah di Belanda. Latar belakang pendidikan tokoh aku membuat penggambaran tokoh aku terlihat mendapat posisi yang lebih rendah jika dibandingkan dengan anak seusianya. Terlihat saat tokoh nenek membandingkan tokoh aku yang masih duduk di bangku kelas dua Gymnasium dengan Heleen (anak Belanda lainnya) yang sudah duduk di kelas lima padahal usia mereka sama. “En je bent zestien? Heleen van tante Jeanne zit in de vijfde.” (hal. 102)

Akan tetapi tidak selamanya tokoh aku direndahkan. Di awal cerita dikatakan bahwa ketika baru masuk di Gymnasium, tokoh aku bisa menguasai bahasa Latin lebih cepat daripada anak Belanda lainnya. Bahkan kemampuan tokoh aku dalam hal ini diakui oleh tokoh anak Belanda bernama Rectrix yang berkata bahwa anak-anak dari Hindia Belanda tahu apa itu artinya bekerja keras “want kinderen uit Indie weten wat werken is.”

Pemenuhan Kapital dan Hubungannya denga Identitas

Peraihan kapital oleh seorang individu bisa mempengaruhi refleksi diri yang diterimanya dari lingkungan. Refleksi diri sendiri menurut Ting-Toomey bisa berasal dari diri sendiri maupun diberikan oleh orang lain.

Dalam cerita Ik Hou van Holland identitas tokoh aku dan tokoh ibu berperan penting dalam penerimaan masyarakat jika ditinjau dari peraihan-peraihan kapital masyarakat oleh kedua tokoh tersebut. Dalam pemaparannya Ting-Toomey menjelaskan bahwa seseorang akan mengalami kerentanan individu jika ada dalam suatu lingkungan baru. Untuk mengatasi hal tersebut seorang individu akan menyesuaikan diri agar perilakunya dianggap cocok dan sesuai dengan yang diharapkan lingkungan. Jika dilihat, hal ini serupa dengan pandangan Bordieu mengenai kapital yaitu saat manusia berusaha untuk meraih kapita-kapital sebagai akomodasi masuk dalam suatu lingkungan masyarakat.

Tokoh aku dan tokoh ibu dalam hal ini tidak terlihat melakukan perubahan atau pemaksaan citra diri agar bisa masuk dalam sebuah lingkungan tertentu. Dengan kata lain mereka tidak mengubah identitas yang mereka miliki. Hanya saja, perubahan identitas terlihat tidak lain melalui orang-orang di sekitar kedua tokoh ini. Misalnya orang di kereta, nenek dari tokoh aku, teman tokoh aku di sekolah yang mencoba untuk mendefinisikan citra diri dari kedua tokoh ini. Bahkan definisi citra diri ini sudah mencapai taraf memberikan prasangka seperti yang terjadi pada pemuda di kereta.

Kesimpulan

Melalui penjabaran di bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa empat kapital budaya dalam teori Pierre Bordieu yaitu kapital ekonomi, simbolik, kultural, dan sosial berhubungan erat dengan penerimaan masyarakat Belanda terhadap tokoh aku dalam cerita. Pada tataran kapital ekonomi hal tersebut digambarkan dari pandangan merendahkan dari tokoh nenek terhadap pakaian yang digunakan oleh tokoh ibu dan tokoh aku. Dalam kapital simbolik memang tidak dipaparkan secara eksplisit mengenai apakah tokoh aku merupakan totok atau Indo namun hal ini akan terlihat pada analisis kapital sosial yaitu ketika tokoh aku dan ibu melibatkan diri di ruang publik bersama masyarakat Belanda lainnya. Dari ciri fisik tokoh aku dan ibu, tokoh lainnya seolah berusaha meletakkan prasangka dan itu mempengaruhi identitas tokoh. Tokoh aku dan tokoh ibu seolah menerima identitas terberi dari masyarakat karena ciri fisik mereka sehingga mereka mendapat fungsi yang rendah dalam kehidupan sosial. Dalam kapital kultural dapat dilihat bahwa karena kemampuan tokoh aku dalam bidang akademis bisa dikatakan lebih tertinggal dibandingkan anak seusianya di Belanda akan tetapi masih ada pandangan bahwa anak-anak dari Hindia Belanda mampu bekerja keras – dalam hal ini di bidang akademik. Di lain pihak masih ada pandangan dari tokoh nenek yang merendahkan kemampuan tokoh aku dalam hal kapital kultural.

Empat kapital-kapital tadi juga turut serta memengaruhi identitas tokoh aku dan tokoh ibu dalam cerita. Tokoh aku dan ibu digambarkan sering menerima identitas terberi dari masyarakat di lingkungan Belanda. Hal tersebut muncul tidak lain karena ketidakmampuan mereka dalam meraih takaran kapital yang sejajar dengan masyarakat Belanda pada umumnya. Meski begitu penulis tidak menemukan upaya dari tokoh aku maupun ibu untuk memenuhi kapital-kapital yang dituntut oleh lingkungannya. Dua tokoh ini meskipun mengalami kesulitan karena berada pada sebuah lingkungan baru yang menuntut kemampuan mereka dalam banyak kapital namun itu tidak membuat mereka memaksakan diri mengubah citra diri mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Pustaka Primer

Van der Put, Raymakers (1990). Ik hou van Holland in Als ik later groot ben, wil ik kind worden.

Calhoun, Craig. (1993). Habitus, Field and Capital Dalam Bordieu: Critical Perspectives, eds. Craig Calhoun, Edward LiPuma & Moishe Postone. Chicago: The University of Chicago Press.

Drop, W. (1970). Indringend Lezen 2. Analyse van verhalend proza. Wolters-Noordhoff: Groningen.

Manurung, Irma F. (2004). Industri Orkestra di Indonesia: Sebuah Telaah Mengenai Pengaruh Habitus – Field – Kapital dalam Produksi Budaya. Tesis UI FISIP Program Pascasarjana Departemen Ilmu Komunikasi

Sastrowardoyo, Subagio. (1990). Sastra Hindia Belanda dan Kita .Jakarta: Balai Pustaka.

Snoe, Kees. (1987).  Nederland leren kennen. Mengenal masyarakat Belanda . Djembatan: Jakarta.

Ting-Toomey. (1999). Stella Communicating Across Culture. The Guilford Press New York

Pustaka Online:

http://www.entoen.nu/tweedewereldoorlog/id

http://public.wsu.edu/~campbelld/amlit/realism.htm

http://www.trouw.nl/tr/nl/5009/Archief/archief/article/detail/2641928/1995/08/12/THUISVAART-NAAR-EEN-VREEMD-LAND.dhtml

Leave a comment